Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 19 Desember 2011

makalah tafsir


BAB 2
ISI
A. Surah Al-Baqarah
1.       QS Al-Baqarah : 62
i)        Ayat dan Terjemahan
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya :
"Sesungguhnya orang-orang yang berimqn, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan hari kemudian dan beramal saleh,maka untuk mereka  pahala mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran menimpa mereka, dan tidak  (pula) mereka bersedih hati.
ii)       Tafsir
Melalui ayat ini Allah memberi jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri. Ini sejalan dengan kemurahan Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hamba-Nya yang insaf. Kepada mereka disampaikan bahwa jalan guna meraih ridha Allah bagi mereka serta umat-umat yang lain, tidak lain kecuali iman kepada Allah dan hari Kemudian serta beramal saleh karena itu ditegaskan bahwa : sesungguhnya orang-orang yang beriman, yakni orang-orang yang mengaku beriman kepada Muhammad SAW, orang-orang Yahudi, yang mengaku beriman kepada Nabi Musa AS dan Orang-orang Nasrani yang mengaku beriman kepada Isa AS dan orang-orang shabi’in, kaum musyrik dan penganut agama dan  kepercayaan lain, siapa saja diantara mereka  yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian  sebagaimana dan sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan  Allah melalui para nabi  serta beramal saleh , yakni yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Allah, maka untuk mereka pahala amal-amal saleh mereka yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga akhirat nanti di sisi Tuhan Pemelihara dan Pembimbing  mereka, serta atas kemurahan-Nya; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka menyangkut sesuatu apapun yang akan datang, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut sesuatu yang telah terjadi.
Ayat ini memulai informasinya dengan kata (انّ) inna yang artinya sesungguhnya. Hal ini dimaksudkan untuk menampikkan dugaan bahwa kecaman dan siksa pada ayat sebelumnya tertuju pada semua Bani isra’il. Memang banyak orang yang menduga bahwa kedurhakaan orang-orang yahudi mencangkup mereka semua, padahal tidak demikian.
Yang dimaksud dengan (هادوا) hadu adalah orang-orang yahudi atau yang beragama yahudi. Mereka dalam bahasa arab disebut   ( ىهود ) yahud. Semantara ulama berpendapat bahwa kata ini terambil dari bahasa ibrani,) ىهود   ) yahudz Ada juga yang memahami kata tersebut berasal dari bahasa arab yang berarti kembali yakni bertaubat. Mereka dinamai demikian  karena mereka bertaubat dari penyembahan anak sapi. Penulis mengamati  bahwa alquran tidak menggunakan kata yahud kecuali dalam konteks kecaman. Itulah sebabnya pada ayat ini tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata hadu.
Kata (اانّصارى) an-nashara terambil dari kata  (ناصر)nashirah yaitu suatu wilayah di Palestina, di mana Maryam, ibu Nabi Isa as dibesarkan dan dari sana dalam keadaan mengandung Isa as, beliau menuju ke Bait al-Magdis, tetapi sebelum tiba beliau melahirkan Isa as di Betlehem. Dari Isa as digelar oleh Bani Israil dengan Yasu’  dari sini pengikut-pengikut beliau dinamai nashara yang merupakan bentuk jamak dari kata nashry atau nashiry.
Kataااصّابًىن  ash-shabi’in ada yang berpendapat terambil dari kata      صبأ shaba’ yang berati muncul dan nampak, misalnya ketika melukiskan bintang yang muncul. Dari sini ada yang memahami istilah alquran ini dalam arti penyembah binatang. Ada juga memahaminya terambil dari kata (   سبآ    ) saba’ satu daerah di Yaman di mana pernah berkuasa ratu Balqis dan penduduknya menyembah matahari dan bintang. Ada lagi yang berpendapat bahwa kata ini adalah kata lama dari Bahasa arab yang digunakan oleh penduduk Mesopotania di Irak.
Pernyataaan beriman kepada Allah dan Hari kemudian, seperti bunyi ayat di atas, bukan berarti hanya kedua rukun itunyang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh alquran dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencangkup semua rukunnya, karena akan sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu persatu. Rasul saw dalam percakapan sehari-hari, sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan hari kemudian.
Ada sebagian orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman  kepada Tuhan dan hari Kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih. Pendapat ini menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu  pada hakikatnya berbeda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama dihadapan-Nya.
2.       QS Al-Baqarah : 122
i)        Ayat dan Terjemahan
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ


Artinya :
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugerahkan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”

iii)     Tafsir
Ayat ini membuktikan bahwa Allah sangat kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya. Yang berulang-ulang durhakapun tetap diajak, dan diberi nikmat. Bani israil yang dianugerahi aneka nikmat tetap diajak. Semoga dengan ajakan ini mereka dapat insaf dan beriman kepada Nabi Muhammad saw.
3.       QS Al-Baqarah : 213
i)        Ayat dan Terjemahan
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya :
“Manusia sejak dahulu adalah umat yang satu, selanjutnya Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena keinginan yang tidak wajar (dengki) antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
ii)       Tafsir
Ayat ini menjelaskan bahwa pada masa kini, kelengahan akn hiasan dunia menjadikan mereka memperebutkannya, sehingga terjadi perselisihan antara mereka.
Manusia sejak dahulu adalah umat yang satu. Ada ulama yang mengaitkan penggalan ayat ini dengan QS Yunus : 10, yang menyatakan Manusia dulunya hanyalah satu umat kemudian mereka berselisih. Sehingga dipahami bahwa dahulu manusia hanya satu umat dalam kepercayaan tauhid, tapi setelah itu tidak lagi demikian karena mereka berselisih.
Ada lagi yang berpendapat bahwa sejak dahulu hingga kini manusia adalah satu umat. Allah menciptakan mereka sebagai mahluk sosial yang saling membutuhkan. Untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lain tentu saja mereka (manusia) harus berbeda-beda dalam hal profesi, kecenderungan dan kebutuhan. Tetapi kadang manusia tidak mengetahui sepenuhnya, bagaimana cara memperoleh kebutuhan dan kemaslahtan mereka, cara mengatur hubungan antar mereka, bagaimana cara menyelesaikan permasalan atau perselisihan mereka. Di sisi lain, manusia memiliki sifat egoisme sehingga dapat menimbulkan perselisihan. Karena itu, maka Allah mengutus para nabi untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah  dan menyampaikan petunjuk-Nya sambil mennugaskan para nabi itu sebagai pemberi kabar gembira bagi yang mengikuti petunjuk itu dan pemberi peringatan bagi yang enggan mengikuti.
Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar. Penulisan kata kitab dikemukakan dalam bentuk tunggal bukan jamak. Ini karena prinsip-prinsip ajaran ilahi yang dibawa oleh nabi-nabi itu , serta yang tercantum dalam kitab-kitab yang diturunkan, pada hakikatnya sama, sehingga ia seakan-akan hanya satu kitab. Semua nabi membawa ajaran tauhid, kepercayaan akan hari kiamat, malaikat, diutusnya para rasul untuk mengajarkan shalat, puasa, zakat haji dan menganjurkan kebaikan serta mencegah kemungkaran. Kitab tersebut diturunkan bersama mereka  agar Allah dan para nabi melalui kitab itu memberi keputusan di antar manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tetapi kenyataan tidak demikian. Kitab tersebut setelah berada ditengah-tengah umat tidak mereka jadikan sebagai rujukan dalam menyelesaika perselisihan, bahkan mereka  berselisih. Dan sungguh aneh yang berselisih adalah mereka yang menerimanya. Itulah yang dimaksud dengan tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab itu. Perselisihan bukan karena kitab yang diturunkan tidak jelas melainkan mereka berselisih setelah datangnya keterangan-keterangan yang nyata. Perselisihan itu terjadi karena dengki antara mereka sendiri. Kedengkian terjadi karena  keinginan mengambil sesuatu yang tidak berhak diambil. 
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dengan demikian mereka tidak bingung, tidak juga tentang gemerlap duniawi yang dinikmati oleh orang-orang kafir. Allah selalu memberi petunjuk melebihi petunjuk yang sebelumnya telah dianugerahkan-Nya kepada orang-orang yang Dia kehendaki menuju jalan yang lebar dan lurus, tanpa hambatan
B. Surah Ali Imran
1.       QS Ali Imran : 61
i)        Ayat dan Terjemahan
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Artinya :
“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engakau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “ Marilag kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu , istri-istri kami dan istri-istrimu, kami endiri dan kamu juga, kemudian marilah kita ber mubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang dusta.”
ii)       Tafsir
Sejak awal surah ini, sudah silih berganti dalil yang dipaparkan untuk membuktikan kekeliruan kepercayaan trinitas, yang berakhir dengan membandingkan Adam dan Isa as.  Sedemikian jelas dan gmblang bukti-bukti itu, sehingga yang menolak atau ragu atau meminta bukti tambahan maka pada hakikatnya dia bersikap kepala batu , tidak berguna baginya bukti akhliah, tidak juga pengalamn sejarah. Siapa yang masih ingin membantahmu dalam hal ini, yakni tentang ihwal Al Imran khususnya Isa as sesudah datang kepadamu ilmu, yakni pengetahuan yang sempurna sebagaimana dipahami dari Alif dan lam pada kata ( العلم)  al-ilm, yakni wahyu  maka ajaklah dan katakanlah kepada mereka yang masih menolak argumen-argumen itu dan tetap akan membantah  marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kami , istri-istri kami dan istri-istri kamu,diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita bermubahalah.” Yakni berdoa secara tulus sesuai kita kepercayaan masing-masing  dan kita dalam permohonan kita itu supaya laknat Allah ditimpakan kepada para pembohong.
Anak kalimat  sesudah datang kepadamu ilmu memberi isyarat bahwa ada ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang bukan atas usahanya, tetapi ilmu datang yang datang kepadanya. Memang setiap ilmu pengetahuan memiliki subjek dan objek Secara umum subjek dituntut untuk berperan guna memahami objek. Namun pengalaman ilmiah membuktikan bahwa terkadang objek yang memperkenalkan dirinya kepada subjek. Ilham, wahyu, dan intuisi yang diperoleh manusia yang suci jiwanya pada hakikatnya tidak lain tidak kecuali bentuk-bentuk ilmu yang datang menemui seseorang .
Kata ثَم tsumma/ kemudian dari segi bahasa digunakan untuk menunjukkan adanya selang waktu yang relative lama antara peristiwa yang terjadi sebelum kata kemudian dan sesudahnya. Kata kemudian dalam ayat ini diletakkan setelah ajakan memanggil anak istri dan sebelum bermubahalah. Ini member isyarat bahwa Nabi saw masih memberi kesempatan waktu yang relative tidak singkat kepada yang diajak itu, untu berpikir menyangkut soal mubahalah, karena akibatnya sangat fatal.
Perkataan Mubahalah (مباهلة) berasal daripada kata bahlah atau buhlah (بهلة) yang bererti doa yang bersungguh-sungguh untuk menjatuhkan kutukan kepada lawan yang membangkang. Imbuhan Mubahalah menunjukkan wujudnya dua pihak yang saling melakukan perkara yang sama, dalam kes ini saling berdoa kepada Tuhan untuk menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran.
Merujuk kepada ayat di atas, diriwayatkan bahawa pada satu ketika datang delegasi Nasrani dari Najran untuk berdialog dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Kota Madinah dalam subjek perbandingan agama antara Kristian dan Islam. Setelah disampaikan segala hujah yang benar yang tidak mampu dijawab oleh delegasi Nasrani, mereka tetap enggan mengakui kebenaran Islam, apatah lagi memeluknya.
Keengganan delegasi Nasrani ini menyebabkan Allah Subhanahu wa Ta‘ala menurunkan ayat 61 surah ‘Ali Imran di atas. Merujuk kepada firman Allah: Marilah kita menyeru anak-anak kami serta anak-anak kamu, dan perempuan-perempuan kami serta perempuan-perempuan kamu, dan diri kami serta diri kamu , Rasulullah telah memanggil 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu 'anhum. Pihak delegasi Nasrani berdoa kepada Tuhan mereka yang tiga (The Father, The Son: Jesus and The Holy Spirit) manakala Rasulullah berdoa kepada Allah, Tuhan yang Satu.
C. Surah Al-Mumtahanah
1.       QS Al-Muntaham : 7
i)        Ayat dan Terjemahan
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya :
“ Mudah- mudahan Allah menimbulkan kasih sayang diantara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi diantara mereka Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha pengampun, Maha Penyayang.”
ii)       Tafsir
Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih saying diantara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi diantara mereka itu” (pangkal ayat 7). Di pangkal ayat ini dibayangkan bahwa barang yang tidak  mustahil bahwa permusuhan yang begitu mendalam di antara Nabi saw. Dan pengikutnya dengan kaum Quraisy musyrikan  itu suatu waktu akan mereda. Sebab yang utama adalah karena di antara kaum yang telah menyakini  islam dengan yang menantangnya itu masih ada pertalian darah dan keturunan. Inipun sangat bergantung sifat Rasulullah sendiri, dalam perjuangannya menegakkan aqidah dan melawan  kekafiran beliau tidak pernah memaki-,maki pribadi orang lain.  Sehingga seringkali permusuhan berubah menjadi kasih saying misalnya saja saat beliau mengalahkan Bani Mushthaliq, pada saat Bani Mushthaliq dikalahkan oleh islam banyak sekali tawanan perang, termasuk putri kabilah tersebut Juwairiah. Juwairiah langsung dipinang oleh nabi saw dengan maskawin berupa kebebasan. Melihat putrid kabilah menjadi istri Rasul saw dengan sendirinya rasa  permusuhan hilang, tawanan dikembalikan ke kampong halamannya. Permusuhanpun berubah menjadi kasih sayang.
        Itulah yang dinyatakan ayat ini, bahwa mudah saja Allah  mengubah permusuhan menjadi kasih sayang, “Dan Allah itu Maha Kuasa,” merubah keadaan dari keruh menjadi jernih. “Dan Allah  itu Maha Pengampun,” orang yang tadinya musuh bias berubah menjadi teman dan dosanya diampuni oleh Allah, dan “Maha Penyayang” ditunjukinya jalan, dibimbingnya, diberinya petunjuk menuju kebenaran.
2.       QS Al-Mumtahanah : 8
i)        Ayat dan Terjemahan
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya :
Allah tidak melarang kamu  untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
ii)       Tafsir
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agam dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu”. Atinya dengan tegas bahwa Allah tidak  melarang  umat islam berbuat baik, adil dan jujur dengan golongan lain, baik mereka itu Yahudi maupun Nasrani ataupun musyrik, selama mereka tidak memerangi, tidak memusuhi, dan tidak mengusir dari kampung halaman. Dengan begini hendaknya disisihkan di antara perbedaan kepercayaan dengan pergaulan sehari-hari.
“sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. Dalam ayat ini tersebut muqsithiin yang artinya berlaku adil. Sebenarnya qisthi lebih luas dari adil. Karena adil adalah khusus ketika menghukum saja, jangan zalim, menjatuhkan keputusan, sehingga yang bersalah tidak disalahkan juga. Qisth mencangkup pergaulan hidup. Misalnya jika kita berbuat baik kepada tetangga sesama muslim, maka kita juga harus berbuat baik kepada tetangga non muslim.
Ahli-ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini adalah “muhkamah” artinya berlaku selama-lamanya. Dalam segala zaman hendaklah kita berbuat baik dan bersikap adil  dan jujur kepada orang yang tidak memusuhi kita dan tidak mengusir kita dari kampong halaman. Kita diwajibkan menjunjung budi islam kita yang tinggi.
3.       QS Al-Mumtahanah : 9
i)        Ayat dan Terjemahan
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya :
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
ii)       Tafsir
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, artinya jika mereka yang berlainan agama dan kepercayaan dengan kita sudah terang memusuhi kita dan memerangi kita, bahkan sudah sampai mengusir kita dari negeri sendiri maka Allah SWT melarang keras kita untuk berteman, berkawan karib, mengharapkan pertolongan dari dirinya.
       dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu’’.  Maksudnya meskipun mereka tidak ikut keluar pergi memerangi islam, tetapi mereka memberi bantuan, maka Allah juga melarang kita untuk berteman dengannya.
Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Maksudnya orang yang berhubungan baik dengan musuh yang jelas-jelas  memusuhi islam, memerangi, mengusir dan membantu pengusiran, jelasalah dia termasuk orang yang aniaya. Sebab dia telah merusak strategi atau perlawana islam terhadap musuh, orang seperti ini tidak teguh imannya.
D. Surah Al-Kafirun
1.       QS Al-Kafirun : 1-2
i)        Ayat dan Terjemahan
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
Artinya :
katakanlah (Muhammad)! Wahai orang-orang kafir.”
“aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.”
ii)       Tafsir
Katakanlah hai Muhammad kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin yang telah mendarah daging kekufuran dalam jiwa mereka bahwa : Wahai orang-orang kafir yang menolak keesaan Allah SWT dan mengingkari kerasulanku, aku sekarang hingga masa datang tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Kata (قل) qul/katakanlah, dicantumkan pada awal ayat diatas, walau jika anda mendiktekan sesuatu kepada orang lain agar dia mengucapkan sesuatu, kita tidak harus mengulangi kata “katakanlah” hal ini menunjukkan bahwa Rasul saw  tidak mengurangi sedikitpun dari wahyu yang beliau terima, walaupun dari segi lahiriah kelihatannya kata itu tidak berfungsi. Disisi lain kita tidak dapat berkata bahwa pencamtuman kata qul  tidak mengandung makna.
Kata (wahai orang-orang kafir) ungkapan yang digunakan pada ayat inimengesankan sikap santun dan sopan. Namun tampak dengan jelas bahwa pesan yang disampaikan itu tegas dan lugas, tidak eufemistis, dihalus-haluskan sehingga sulit dimengerti.
Kata (الكافرون) al-kafirun terambil dari kata(كفر) kafara yang pada mulanya berarti menutup. Alquran menggunakan kata tersebut untuk berbagai makna yang masing-masing dapat dipahami sesuai dengan kalimat dan konteksnya. Secara umum kata itu menunjuk kepada sekian banyak sikap yang bertentangan dengan tujuan kehadiran/tuntunan agama.
Yang dimaksud dengan orang-orang kafir pada ayat pertama surah ini adalah tokoh-tokoh kaum kafir yang tidak mempercayai keesaan Allah serta tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw.
Kata (أعبد) a’budu berbentuk kata kerja masa kini dan datang (mudhari’) , yang mengandung arti dilakukannya pekerjaan dimaksud pada saat ini, atau masa akan datang atau secara terus menerus. Dengan demikian Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyatakan bahwa : aku sekarang dan di masa akan datang bahkan sepanjang masa tidak akan menyembah, tunduk atau taat kepada apa yang sedang kamu sembah wahai kaum musyrikin.
Rasulullah saw menolak ajakan kaum musyrikin, untuk penyatuan agama. Karena tidak mngkin dan tidak logis pula terjadi penyatuan agama –agama. Setiap agama berbeda dengan agama lain, demikian pua dalam hal ajaran dan perinciannya. Masing-masing penganut agama harus yakin sepenuhnya dengan ajaran agama dan kepercayaannya. Selama mereka yakin mustahil merekaa akan membenarkan ajaran yang tidak sesuai dengan agamanya.
Sikap nabi Muhammad saw menolak ajakan ini diperkuat oleh Allah SWT dengan turunnya surah ini.
2.       QS. Al-kafirun : 3
i)        Ayat dan terjemahan
وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
Artinya :
“Dan tidak (juga) kamu akan menjadi penyembah-penyembah apa yang sedang aku sembah.”
ii)       Tafsir
Setelah ayat 1 dan 2 memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk menyatakan bahwa beliau tidak mungkin untuk masa kini dan datang menyembah sembahan kaum musyrikin, ayat 3 ini melanjutkan bahwa : Dan tidak juga kamu wahai tokoh-tokoh kaum musyrikin akan menjadi penyembah-penyembah apa yang sedang aku sembah. Jadi, ayat ketiga ini mengisyaratkan bahwa mereka itu tidak akan mangabdi ataupun taat  kepada Allah, Tuhan yang sekarang dam di masa akan datang disembah oleh rasulululah saw.
Ayat 1-3 di atas berpesan kepada Nabi Muhammad saw untuk menolak secara tegas usul kaum musyrikin. Bahkan lebih dari itu, ayat-ayat tersebut bukan saja menolak usul yang mereka ajukan sekarang tetapi juga menegaskan bahwa tidak mungkin ada titik temu antara rasulullah dan tokoh-tokoh tersebut, karena kekufuran sudah demikian mantap dan mendarah dan mendarah daging dalam jiwa mereka. Kekeraskepalaan mereka telah mencapai puncaknya sehingga tidak ada sedikit harapan baik masa kini maupun masa yang akan datang untuk bekerja sama dengan mereka.
3.       QS. Al-Kafirun : 4-5
i)        Ayat dan Terjemahan
وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
Artinya :
 Dan tidak juga aku menjadi penyembah dengan cara yang kamu telah sembah.”
وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ


Artinya :
Dan tidak juga kamu akan menjadi penyembah-penyembah dengan cara yang aku sembah.”
ii)       Tafsir
Setelah ayat yang lalu menegaskan bahwa tokoh-tokoh kafir itu tidak akan menyembah di masa datang apa yang dissembah oleh Nabi saw ayat diatas melanjutkan bahwa : “ dan tidak  juga aku akan menjadi penyembah di masa datang dengan cara yang selama ini kamu telah sembah, yakni aneka macam berhala. Dan tidak juga  kamu  wahai tokoh-tokoh kaum musyrikin akan menjadi penyembah-penyembah dengan cara yang aku sembah.
        Sementara mufassir berpendapat bahwa kandungan ayat 4 surah ini tidak berbeda dengan kandungan ayat 2, begitupula juga kandungan ayat 5 sama dengan kandungan ayat 3. Pendapat ini kurang tepat karena tanpa kesulitan dapat dilihat perbedaan ayat 2 dengan 4.
        Dalam rangka memahami perbedaan itu, kita harus mengarahkan pandangan kepada kata (عبدتم) abadtum (dalam bentuk kata kerja masa lampau) yang digunakan oleh ayat 4 dan kata (تعبدون) ta’budun yang berbentuk kata kerja masa kini dan akan datang digunakan oleh ayat 2.
        Kesan pertama yang diperoleh berkaitan dengan perbedaan tersebut adalah bahwa bagi Nabi saw ada konsistensi dalam objek pengabdian dan ketaatan, dalam arti yang beliau sembah tidak berubah-ubah. Berbeda halnya dengan orang kafir itu, rupanya apa yang merek sembah hari ini dan esok berbeda dengan apa yang mereka sembah kemarin. Disinilah letak perbedaan ayat-ayat tersebut.ayat 2 dan 4 menegaskan bahwa Nabi saw tidak akan menyembah sembahan-sembahan mereka baik yang mereka sembah hari ini, besok maupun kemarin.
        Adapun perbedaan ayat ketiga dan kelima yang redaksinya persis sama. Keduanya berbunyi (ولاأنتم عابدون ما أعبد) wa la antum abiduna ma a’bud. Maka sementara ulama membedakannya dengan memberi arti yang berbeda terhadap kata (ما) ma pada masing-masing ayat.
        Menurut mereka (ما) ma pada ayat ketiga (demikian juga pada ayat kedua) berarti apa yang sehingga (ولاأنتم عبدون ما أعبد) wa la antum abiduna ma a’bud berarti kamu tidak akan menjadi  penyembah apa yang sedang dan akan saya sembah. Sedangkan (ما)   ma pada ayat kelima dan keempat berarti berbicara tentang cara beribadat :”Aku tidak pernah menjadi penyembah dengan cara penyambahan kamu, kamu sekalianpun tidak akan menjadi penyembah-penyembah dengan cara penyembahanku.”
        Cara kaum muslimin menyembah adalah berdasarkan petunjuk ilahi, sedang cara mereka adalah berdasarkan hawa nafsu mereka.












 
hidup jangan di ambil pusing.....
keep smiling...